Islam and International World
Sejarah
Konflik Filipina Selatan Dalam Menuntut Hak
Otonom Bagi Masyarakat Muslim Moro
Sejarah mengatakan bahwa, sekitar tahun 1380M
agama Islam merupakan agama mayoritas,
terutama di wilayah bagian Filipina Selatan. Islam bukanlah agama pertama di
negara Filipina, namun pada saat itu Islam datang kedalam peradaban dan
masyarakat yang telah memiliki budaya terutama di Filipina bagian selatan,
Mindanao dan Sulu. Masuknya Islam di negara ini berawal dari kedatangan seorang
tabib dan ulama Arab yang bernama Karimul Makhdum serta Raja Baguinda yang
berdakwah menyebarkan agama ini. Islam telah datang sebelum Spanyol menjajah
Filipina pada 16 Maret 1521. Setelah keberhasilan Spanyol menakhlukkan Filipina
Utara maka Spanyol berencana untuk menakhlukkan Filipina Selatan yang dipimpin
kesultanan Islam pada masa itu, namun menakhlukkan Filipina Selatan tidak
semudah menakhlukkan Filipina Utara. Bangsa Moro yang mendiami Filipina selatan
ini ternyata lebih gigih dalam mempertahankan wilayah mereka.
Pada
1898 M, melalui Traktat Paris Spanyol secara resmi memberikan Filipina kepada Amerika Serikat. Untuk menarik
simpati, Amerika berjanji akan memberikan kebebasan beragama, dan kebebasan
mengungkapkan pendapat dan memberikan pendidikan kepada bangsa Moro yang kemudian dibuktikan
dengan penandatanganan Traktat Bates pada 1898 M. Tentunya sikap Amerika
Serikat merupakan kedok untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Pada 1903 Di
bawah pemerintahan Amerika Serikat Mindanao dan Sulu yang mayoritasnya beragama
islam disatukan menjadi wilayah provinsi Moroland dengan alasan untuk
menyatukan rakyat Mindanao dan Sulu agar dapat bermasyarakat. Dalam praktik penjajahannya Amerika
menggunakan bujukan dan pendidikan untuk menghentikan perlawanan bangsa Moro.
Dalam hal pendidkannya Amerika memasukkan unsur dan norma-norma Barat untuk mengasimilasi
Bangsa Moro pada kebiasaan orang-orang Kristen.
Amerika
Serikat pada akhirnya merasa bahwa Filipina tidak banyak memberi keuntungan
bagi negara mereka karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan dalam
membenahi wilayah dan kericuhan yang terjadi, maka pada masa pra-kemerdekaan
yang ditandatangani dengan peralihan kekuasaan dari penjajahan Amerika Serikat
ke pemerintahan Filipina yang bermayoritaskan Kristen memberlakukan hukum
tanah, bahwa setiap tuan tanah harus mendaftarkan kepemilikan tanah secara
resmi kepada pemerintah Filipina. Banyak dari Filipina Selatan yang enggan
untuk berurusan dengan pemerintahan Filipina dan akhirnya ini menjadi alasan
bagi pemerintahan Filipina untuk menyita tanah milik masyarakat Filipina
Selatan sehingga pemerintah dapat melakukan program imigrasi Filipina Utara ke
Filipina Selatan yang bertujuan untuk berbaur, mengekplorasi wilayah Filipina
Selatan yang hidup secara tradisional serta menjalankan politik genocide pada
awal decade 1970an.
Para
Imigran asal Filipina utara yang telah
hidup jauh modern dan berpendidikan dibanding dengan masyarakat selatan yang
masih bersifat tradisional akhirnya lebih pandai dalam mengelola tanah dan
memiliki ekonomi yang jauh lebih baik dari pada penduduk setempat. Banyak dari
warga Selatan yang akhirnya bekerja dan menjadi buruh untuk para imigran. Menyadari
hal tersebut warga pribumi setempat tidak dapat menerima dan akhirnya timbulah
konflik tanah antara warga pribumi dan para imigran yang kehidupannya jauh
lebih baik dan merembet kepada konflik agama. Keadaan ini juga telah memicu protes yang
keras kepada pemerintahan Filipina terlebih lagi pemegang kekuasaan
pemerintahan berada di Filipina Utara yang mayoritasnya beraga Katolik membuat
warga Selatan tidak patuh dan lebih menghormati datuk setempat.
Sulitnya
warga Selatan bermasyarakat dengan warga Utara dan juga pemerintah adalah
karena; 1) Bangsa Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, karena
undang-undang tersebut berasal dari barat dan Katolik. 2) Sistem sekolah yang
menetapkan kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina disemua daerah tanpa
membedakan agama dan kultur dan hal ini yang membuat bangsa Moro enggan untuk
belajar disekolah. 3) Bangsa Moro masih trauma dan tidak suka dengan program perpindahan
penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina ke wilayah Mindanao yang
akhirnya merubah posisi mereka sebagai mayoritas menjadi minoritas di tanah
leluhur bangsa Moro. Alasan tersebut menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam bagi bangsa Moro yang akhirnya dengan alasan
tersebut melahirkan gerakan perlawan baru dari bangsa moro seperti Muslim
Independent Movement (MIM) pada tahun 1968, Moro Liberation Front (MLF) pada
tahun 1971 yang pada perkembangannya terpecah menjadi Moro Natioan Liberation
Front (MNLF) yang dipimpin oleh Nurulhaj M. dan Moro Islamic Liberation Front
(MILF) yang dipimpin oleh Salamat H.
Karena tidak mendapat respon yang baik dari
pemerintah Filipina akhirnya Pemberontakan dan perlawanan bangsa Moro terus
berlangsung dari pasca kemerdekaan Filipina pada 1946 sampai saat ini, bahkan
bangsa Moro ditanah leluhurnya mendapat tindak diskriminasi dan marjinalisasi;
kemiskinan tingkat pendidikan rendah dan lapangan pekerjaan yang sulit bagi
bangsa Moro. Usaha para gerakan perlawanan bangsa Moropun tak sia-sia karena dikabarkan
telah mendapat dukungan dari dunia Internasional salah satunya OKI dan mendapat pemasukan dana dari Libya. Konflik
Filipina Selatan dan pemerintahan Filipina akhirnya menjadi konflik separatis
yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak dan rakyat sipil. Dalam hal ini
pemerintah Filipina memiliki dua strategi besar yaitu strategi konfrontasi dan
politik berupa perjanjian damai maupun referendum untuk meredamkan pemberontakan
bangsa Moro tersebut.
Saat ini muslim Filipina hanya menjadi kaum
minoritas di daerah The Autonomous Region
in Muslim Mindanao (ARMM) yang dibentuk oleh pemerintah pada 1989 sebagai
hasil kesepakatan damai antara
pemerintah dan MNLF, tentunya sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan
sejarah Filipina sebelum masa penjajahan Spanyol dan Amerika Serikat. Hingga
saat ini gerakan perlawanan bangsa Moro masih berjuang untuk kemerdekaan
wilayah ARMM dan masih dalam perundingan antara presiden Aquino untuk otoritas
landasan Hukum Islam di bagian Filipina Selatan tersebut.
“Kami telah mencapai langkah selanjutnya
menuju Mindanao yang lebih damai dan progresif,” kata Aquino setelah memberikan
usulan undang-undang baru itu kepada para pemimpin kongres.
Masyarakat
Internasional tentunya berharap konflik tersebut dapat terselesaikan secara
damai karena akan mengganggu stabilitas wilayah Asia Tenggara dan dapat
melahirkan kelompok-kelompok ekstrim yang dapat mengancam keamanan Asia.
Referensi
Islampos: Presiden Filipina desak wilayah otonom Muslim, https://www.islampos.com/presiden-filipina-desak-wilayah-otonomi-muslim-172961/
Lilis Ayu Rimbawati
201110360311064
Class B